TOMOHON TAKKALA GMIM BERDIRI SENDIRI DAN MENJADI PUSAT KEGIATAN GMIM 1934-1970
A. GMIM BERDIRI SENDIRI DAN MEMBENAHI ORGANISASINYA.
Menjelang pengresmian (instituering) Gereja Masehi Injili Minahasa berdiri dalam lingkungan Gereja Protestan Hindia Belanda (Kini GPI) tanggal 30 September 1934, telah diadakan persiapan-persiapan seperti yang sudah dijelaskan dalam bagian sebelumnya. Tetapi yang paling penting dan menentukan dalam rangka persiapan ini yaitu keputusan rapat besar (Groote vergadering) yang berlaku di Batavia (Jakarta) Mei 1933, yang telah mengadakan perubahan reglement dari Indische Kerk (GPI).
Dalam artikel 33 ayat 1, dinyatakan : “di dalam lingkungan Gereja Protestan atas persetujuan Rapat Besar dapat dibentuk gereja-gereja yang berdiri sendiri dan berada di dalam lingkunganya.”
Ayat 2, “di Minahasa, Maluku dan kepulauan Timor akan dibentuk Gereja-gereja yang berdiri sendiri, yaitu: Gereja Protestan di Minahasa, Gereja Protestan di Maluku dan Gereja Protestan di Kepulauan Timor.”
Menurut Ds. G.P.H. Locher (mantan Ketua Sinode GMIM) dalam bukunya yang berjudul “De Kerkorde der Protestanse Kerk in Indonesia” terbitan tahun 1948 dalam paragraf 10 tentang Gereja Protestan di Minahasa (halaman 104,105) bahwa dalam rangka pembicaraan tentang penyerahan sekolah-sekolah kepada Indiche Kerk tahun 1931, sudah dibahas juga keinginan NZG agar segera mendapat kepastian berdirinya satu gereja di Minahasa sebelum NZG meninggalkan daerah ini.
Itulah sebabnya Kerkbestuur mengambil keputusan sbb.:
a. Menugaskan kepada komisi XII untuk menyusun rancangan peraturan-peraturan: Aturan umum, Sinode, Klasis dan peraturan pemilihan untuk bakal Gereja di Minahasa;
b. Komisi ini dilibatkan dalam semua masalah penting yang berhubungan dengan gereja, selama Klasis dan Sinode belum dibentuk. Komisi ini bersama-sama dengan Konferensi Hullpredikers bertindak sebagai Proto Sinode. Oleh karena rapat besar turut dihadiri oleh utusan-utusan dari Minahasa, pelaksanaan keputusan di atas berjalan dengan baik.
Komisi ini setelah menyiapkan peraturan-peraturan, menyampaikannya kepada Kerkbestuur. Setelah mengalami perbaikan, dikembalikan, lalu mulailah pemilihan-pemilihan Badan-badan Klasis dan Sinode (yang sifatnya sementara). Sinode yang terpilih ialah Proto Sinode yang sebenarnya (Sinode I). Kerkbestuur meminta kepada Sinode menunjuk pada banyak hal (ada diantaranya yang sangat penting) untuk menetapkan Peraturan-peraturan tersebut, maka instituering (pengresmian) Gereja Protestan di Minahasa sudah dapat berlaku.
![]() |
| Gereja SION Tomohon - 1934 |
Hal ini menjadi kenyataan pada 30 September 1934 dengan beslit Gubernur Jenderal Hindia Belanda 17 September 1935 No.5 (Staatsblad 563, Gereja Masehi Injili Minahasa berdiri sendiri dalam lingkungan Gereja Protestan di Hindia Belanda). Keputusan ini didasarkan kepada jawaban Kabinet Pemerintahan Belanda tanggal 10 September 1934 No. 104. kemudian disusul dengan Hak Badan Hukum dengan surat Keputusan Pemerintah No. 76 tertanggal 24 Desember 1935 (Staatsblad no. 607 tahun 1934).
Upacara pengresmian GMIM 30 September 1934 berlaku di Gedung Gereja Sion Tomohon. Hadir Gubernur Jenderal Mr. B.C. de Jonge mewakili pemerintah, Ds. T.J. Van Oostrom Soedo Sekretaris, sekaligus mewakili Kerkbestuur Indische Kerk. Keduanya memberikan sambutan disusul oleh Dr. A.A. de Vreede Predikant-Voorzitter (Ketua Sinode) dan Ds. A.Z.R. Wenas, yang mewakili umat Kristen Protestan di Minahasa. Turut hadir juga anggota Kerkbestuur Dr. Tumbelaka. Malamnya diadakan perjamuan Kudus di gereja besar (Sentrum Manado). Jalanya upacara peresmian ini dapat dibaca selengkapnya pada buku “ Instituering der Minahasissche Protestantsche Kerk” cetakan Kollf Batavia C.
Mulai 30 September 1934 Tomohon resmi menjadi pusat dari GMIM dengan segalah kegiatanya. Dalam berdirinya GMIM maka Hulppredikers Afdeling dibubarkan diganti dengan klasis, yang berjumlah sepuluh yaitu : Maumbi, Airmadidi, Tondano, Tomohon, Sonder, Langowan, Ratahan, Kumelembuai dan Manado Kota (terdiri dari jemaat berbahasa Indonesia dan Belanda). Klasis Tomohon adalah gabungan dari bekas Hulppredikers Afdeling Tomohon dan Hulppredikers Afdeling Taratara. Ds. A.Z.R. Wenas menjadi Ketua Klasis Tomohon dan sekaligus juga ketua Majelis Jemaat Tomohon dan Direktur STOVIL Tomohon.
Perlu dikemukakan secara singkat peristiwa besar yang telah berlaku dari tahun ke tahun sesudah berdirinya GMIM dimana Tomohon sudah turut berperan mengisi sejarah.
Tahun 1935 :
Dengan dukungan dari “Perserikatan Pengasihan”, tanggal 7 Februari 1935 dibuka di halaman keluarga Wenas-Mambu Desa Kamasi: Rumah Pengasihan, yang menampung anak-anak piatu. Disusul dengan pembukaan Kraamkliniek, yang kemudian menjadi Rumah Bersalin, asuhan dari Kaum Ibu.
Pada tahun ini juga Ketua Sinode GMIM Dr. E.A.A. de Vreede ditarik dari Minahasa oleh Kerkbestuur diangkat menjadi Sekretaris Kerkbestuur. Beliau diganti oleh Ds. S.D. Buenk.
Di Jemaat Tomohon diadakan 2 kebaktian di Gereja Sion : pagi berbahasa Indonesia dan sore berbahasa Belanda.
Pemisahan Administrasi antara Gereja dan Negara (Pemerintah) yang berlaku sejak 1 Agustus 1935, yang menetapkan a.l. pembatasan jumlah tenaga gereja yang dibiayai oleh Negara, mempengaruhi kehidupan Jemaat-jemaat GMIM. Jumlah Inlander Leeraar berstatus pegawai negeri dibatasi. Hal ini dirasakan juga ileh mereka yang baru tamat STOVIL Tomohon, sebagai Kandidaat Inlander Leeraar harus menunggu lama untuk mengisi formasi.
Tahun 1936 :
Pada tahun ini Ds. A.Z.R. Wenas, sebagai Ketua Majelis Jemaat Tomohon, mengusahakan pembangunan “Clubgebouw” dekat gereja Sion yang dilihat oleh beliau bermanfaat untuk kepentingan bukan saja Jemaat Tomohon tetapi seluruh gereja, untuk rapat-rapat dan pertemuan-pertemuan.
Pembangunan ini disusul dengan pembukaan “Kopschool” (Sekolah Kepandaian Putri) di halaman bekas sekolah Dasar NZG yang dijuluki sekolah “Undap”. Dalam rangka pembangunan penggunaan dana seharusnya mendapat izin dari Badan Pekerja Sinode.
Bulan Juni 1936 Ds. Wenas dan Nyonya mengambil cuti keluar negeri (Belada); ketika kembali dari cuti akhir Tahun 1936, sudah ada rencana dari Badan Pekerja Sinode mengusulkan Kerkbestuur memindahkan beliau keluar Minahasa (Ambon). Alasanya yaitu masalah penggunaan dana tersebut di atas.
Namun karena sudah timbul protes dari berbagai pihak, termasuk Majelis Jemaat Tomohon, rencana Badan Pekerja Sinode dibatalkan dan Ds. Wenas bertugas kembali di Tomohon. Selama dalam cuti pimpinan klasis Tomohon diserahkan kepada Ds. Jac van Vesem dan STOVIL kepada Ds. A. Vermeulen.
Tahun 1937 :
Ds. A.Z.R. Wenas dipilih menjadi Wakil Am BP Sinode.
Yang bertugas di Tomohon sebagai Inlander Leeraar :
B.S. Supit, dan sebagai guru Stovil dan melayani Jemaat Walian. R. Polii di Talete, P.L.H. Mandagi di Paslaten, P. Tirie di Matani sekaligus sebagai Sekretaris Klasis, H. Goni Sekretaris Sinode.
Ds. C.D. Buenk Ketua Sinode Bulan September 1937 pindah ke Pematang Siantar diganti oleh Ds. Van Herwerden.
Clubgebouw yang dibangun tahun 1936, dipergunakan juga sebagai tempat bersidang dari Sinode GMIM.
Pada tahun ini juga terjadi perubahan gelar Hulppredikers menjadi Indische Predikant.
Tahun 1938 :
1 April 1938 sekolah-sekolah yang diserahkan NZG kepada Indische Kerk (1 Januari 1933) kini diserahkan kepada GMIM. Schoolbeheerder Jac van Vessem yang juga Administratuur Penningmeester GMIM. Penilik Sekolah guru N. Potu.
Pada tanggal 4-7 Juli 1938 di Tomohon diadakan rapat ILBAM (Bond Inlander Leeraar Afdeling Minahasa). Para Inlander Leeraar menuntut persamaan penggunaan toga (pakaian jabatan). Badan Pekerja Sinode menyetujui penggunaan Toga mulai Jumat Agung 1939.
Badan Pekerja Sinode di tahun 1938 sudah membentuk Komisi-komisi: Komisi Liturgi; Komisi Pekabaran Injil yang menangani masalah daerah Pekabaran Injil GMIM (Donggala dan Gorontalo); Komisi Pemuda (Jeugd Commisie), Komisi Kesehatan (Medische Commisie). Komisi yang ada sebelumnya yaitu Komisi Urusan Persekolahan (Schoolbeheers Commisie).
Catatan tambahan :
1. Para Pendeta (Inlander Leeraar dan Hulpprediker/Indische Predikant) diberi hak meneguhkan nikah oleh pemerintah, berdasarkan Ordonansi Perkawinan Bumiputera Kristen Jawa, Minahasa, Ambon, yang memudahkan pelaksanaan pernikahan anggota Jemaat;
2. Serikat Kaum Ibu Masehi, yang di Jemaat-jemaat dipersatukan melalui pertemuan utusan-utusan yang berlaku tanggal 23 November 1937 di gereja Sion Tomohon dengan membentuk Persatuan Kaum Ibu Masehi di Minahasa (Perkim);
3. Dalam bidang komunikasi penerbitan majalah :
Badan Pekerja Sinode : Berita Gereja
Kaum Ibu : Taman Ibu
Pemuda (SPM) : Suluh Pemuda
Tahun 1939 :
GMIM menghadapi kesulitan tenaga Indische Predikant, yang merangkap Ketua Klasis akibat dari pembatasan jumlah tenaga gereja yang dibiayai oleh kas Negara. Karena tempat-tempat yang lowong diisi oleh Inlander Leeraar le klas yang diangkat oleh Badan Pekerja Sinode. Misalnya Inlander Leeraar B.S. Supit mengisi lowongan di Sonder dan Inlander Leeraar Tengker.
Liturgi kebaktian biasa hasil Komisi Liturgi mulai dipakai 1 Januari 1939.
Jumat Angung 1939, para Inlander Leeraar untuk pertama kalinya memakai toga.
Di tahun ini juga Ds. Jac van Vessem sebagai Administrateur/Penningmeester sekaligus juga sebagai schoolbeheerder diganti oleh Ds. P.N. Vellekoop.
Serikat Pemuda Masehi yang ada di jemaat-jemaat dipersatukan tanggal 29 Desember 1939 melalui suatu keputusan menjadi Persatuan Serikat Pemuda Masehi Minahasa (PSPMM).
Tahun 1940
Stovil Tomohon ditutup setelah mengadakan ujian terakhir bulan Juli 1940.
Kompleks Stovil mulai tanggal 1 Agustus 1940 dipergunakan untuk Sekolah Guru Jemaat, yang pindah dari Kuranga.
Direkturnya J.O. Roeroe. Sekolah ini dibuka untuk memenuhi kebutuhan jemaat-jemaat yang kekurangan guru Jemaat yang terdidik sesuai tuntutan zaman. Perlu juga dicatat disini, bahwa Kweekschool Kuranga yang pada tahun 1929 berubah menjadi Normaalschool kemudian ditutup pada tahun 1935. Untuk memenuhi kebutuhan Guru Sekolah tahun 1936 dibuka kursus Volsch Onderwijzer. Disebut juga Normaalleergang yang dipimpin oleh D. Lumunon sampai tahun 1938. Karena beliau diangkat oleh pemerintah menjadi Schoolopziener, pimpinan CVO ini diserahkan kepada J.O. Roeroe. Di sekolah Guru Jemaat ini juga dibuka kursus Volksch Onderwijzer (CVO).
Jerman menyerbu tanah Belanda pada 10 Mei 1940 dan mendudukinya. Akibatnya Inlander Predikant/Ketua Klasis Langoan Ds. Thiede yang warga Jerman masuk tawanan/tahanan. Ambacthschool NZG (satu-satunya sekolah yang masih dipertahankan NZG dan yang mendapat subsidi dari pemerintah) di Sasaran Tondano, dijadikan tempat tahanan orang-orang Jerman. Karena hendak ditutup oleh Ketua Sinode Ds. H.H. van Henderwen menghubungi Zendings Consul di Jakarta meminta kesediaan menyerahkan sekolah ini kepada GMIM. Setelah mendapat persetujuan Badan Pekerja Sinode memutuskan sekolah ini dibuka 1 Agustus 1940 di Manado (Rapat Badan Pekerja Sinode 10 Juni 1940).
Catatan : Ambachtschool Sasaran adalah pindahan dari Wasian Kakas yang dibuka sekitar tahun 1915. Direktur Ambachtschool GMIM Manado, tuan H.W. Kristel. (dikutip dari laporan Badan Pekerja Sinode dama Sidang Sinode di Tomohon 14-17 Oktober 1940).
Di Gereja Sion Tomohon pada 27 Oktober 1940 diadakan Ibadat Peneguhan Lulusan HTS (Hogere Theologische School) Bogor. Khotbah I (Intrede-preek) oleh Ds. R.M. Luntungan dan Ds. W.J. Rumambi. Rekan mereka Ds. Kansil tidak ikut serta, karena langsung ditugaskan ke daerah Pekabaran Injil Indische Kerk Luwuk lalu diteguhkan di sana. (sumber : Notulen Badan Pekerja Sinode 1940 dan Laporan Badan Pekerja Sinode dalam Sidang Sinode 14-17 Oktober 1940).
Tahun 1941 :
Ditandai dengan ketegangan-ketegangan dan bahaya peperangan mengancam karena Jepang melibatkan diri dalam Perang Dunia II. Walaupun demikian tugas gereja tidak berubah.
Perubahan pimpinan Badan Pekerja Sinode GMIM
4 Juli 1941 diadakan serah terima antara Ds. H.H. van Herderwen dengan ketua Sinode baru Ds. G.P.H. Locher. Melalui rapat Badan Pekerja Sinode pada tanggal 24 November 1941, Ds. A.Z.R. Wenas dipilih dengan suara bulat menjadi Wakil Ketua Sinode/Badan Pekerja Sinode menggantikan Ds. A. Duetz yang dipindahkan ke Surabaya. Dalam ucapan Ketua (Ds. G.P.H. Locher) yang ditujukan kepada anggota-anggota terselip kalimat :…..”kiranya anggota-anggota nanti membantu baik-baik Ds. Wenas selama Ketua II, terlebih-lebih kalau oleh suatu hal ichwal yang boleh berlaku esok lusa terpaksa Ds. Wenas harus menjabat pekerjaan Ketua Sinode Gereja Kita” Melalui rapat Badan Pekerja Sinode ini Ds. Wenas sebagai wakil Am diganti oleh Penatua E.D. Dengah.
Ds. A. Duetz Predikant Manado, diganti oleh Indische Predikant Ds. A.A. Van Dalen. Dengan penggantian ini berakhirlah Manado sebagai kedudukan Predikant selama 144 tahun sejak Hellendoorn 1887.
Ds. W.J. Rumambi yang sebelumya diperbantukan pada School Beheerder GMIM pindah ke Kumelembuai sebagai Ketua Klasis pada 15 Juni 1941.
Ds. R.M. Luntungan sejak peneguhan ditugaskan sebagai Sekretaris SPMM (Pemuda), dengan Ketua tuan E. Katoppo, dan Bendahara tuan S.G.A. Roeroe.
Rapat Badan Pekerja Sinode 1 Desember 1941 membicarakan penggabungan Jemaat Sarongsong dengan Klasis Tomohon dan diputuskan berlaku 1 Januari 1942.
Catatan khusus :
Ucapan Ketua Sinode Ds. G.P.H. Locher, kemudian menjadi kenyataan ketika Jepang menyerbu Minahasa 10 Januari 1942 yang mengakibatkan semua warga Belanda dimasukkan dalam tahanan. Dengan ini berakhirlah periode yang dimaksud di atas.
KLASIS TOMOHON PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG 1942-1945
![]() |
| Ds. G.P.H. Locher |
Klasis Tomohon pada saat itu terdiri dari 25 jemaat : 1. Agotei; 2. Kakaskasen; 3. Kayawu; 4. Kinilow; 5. Kumelembuai; 6. Kumu; 7. Koha; 8. Lemoh; 9. Lolah; 10. Munte; 11. Mokupa; 12. Poopoh; 13. Ranotongkor; 14. Rurukan; 15. Senduk; 16. Suluan; 17. Tanawangko; 18. Taratara; 19. Tateli, Buloh; 20. Teling; 21. Tinoor; 22. Tomohon; 23. Walian; 24. Wailan; 25. Woloan.
Klasis Tomohon dibagi dalam 7 wilayah pelayanan yang dipimpin oleh masing-masing oleh seorang pemimpin.
a. Wilayah Pelayanan Kakaskasen : Kakaskasen, Kinilow, Tinoor (K. Matindas)
b. Wilayah Pelayanan Koha : Koha, Tateli Buloh, Agotei (W.B. Warouw)
c. Wilayah Pelayanan Rurukan : Rurukan, Kumelembuai, Suluan (M.L. Wangkay)
d. Wilayah Pelayanan Tanawangko : Tanawangko, Lemoh, Senduk, Munteh, Mokupa
Poopoh, Teling dan Kumu (G.j.H. Mandagi)
e. Wilayah Pelayanan Taratara : Taratara, Ranotongkor, Lolah (P.L.H. Mandagi)
f. Wilayah Pelayanan Woloan : Woloan, Kayawu, Wailan (A. Rawis)
g. Wilayah Pelayanan Tomohon : Ds. A.Z.R. Wenas
Ketua I : Ds. A.Z.R. Wenas
Ketua II : L. Wilar
Jurutulis : A.H.D. Wajong
Anggota-anggota : M. Sondakh, L. Kaunang, A. Pontoh
Pendeta-Pendeta yang bekerja di Klasis Tomohon : A.Z.R. Wenas, B. Moendoeng, P. Tirie, H. Sinaulan, A.H.D. Wajong, P.W. Sambouw, M.L. Matindas, J.W. Korompis dan J. Tulung.
Sejak Jepang masuk selang beberapa minggu tidak dilaksanakan kebaktian hari minggu di rumah Gereja, akan tetapi pelayanan terus dijalankan oleh Majelis Jemaat dan para pengantar jemaat di pondok-pondok perkebunan. Pemerintah militer Jepang di Tomohon baru member izin untuk membuka kebaktian di gereja besar Tomohon, Matani dan Walian pada tanggal 1 Februari 1942, yang masing-masing dihadiri oleh 4, 30, 25 orang.
Pada tanggal 16 Juni 1942, seorang pendeta Jepang Miyahira Hidemasa yang pada waktu itu menjabat Sekretaris Gubernur di Makassar datang berkunjung di Minahasa dan mengadakan perhimpunan di beberapa tempat. Juga di pasar Tomohon, gereja Kakaskasen, gereja besar Tomohon dan di gedung Sinode GMIM Tomohon. Dalam perhimpunan-perhimpunan tersebut ia menjelaskan secara terbuka bahwa adalah kemauan pemerintah Tokyo supaya segala agama dihormati oleh pemerintah militer Jepang. Di pasar Tomohon ia berpidato a.l : ……kesukaran oleh peperangan, seperti angin ribut yang menggoyangkan pohon-pohon kayu supaya lebih berakar dalam tanah. Demikian percobaan oleh peperangan sekarang, orang-orang Kristen di Minahasa juga digoyangkan, supaya menjadi kuat dalam percaya atau iman kepada Tuhan Allah, Yesus Kristus dan Roh Kudus…..
Kedatangan Miyahira Hidemasa ke Minahasa telah mengakibatkan gereja-gereja di seluruh Minahasa diizinkan pemerintah militer untuk dibuka. Hal tersebut nyata melalui surat Kepala Minseibu Bahagian Pengajaran dan Ibadat, K. Kodama, kepada Ketua Gereja Masehi Injili di Minahasa di Tomohon tertanggal 24 Juni 1942 yang berisi :
Pasal 1 :
Minseibu Manado memberikan keleluasaan kepada pemimpin-pemimpin membuka semua gereja-gereja (semua rumah-rumah kebaktian). Akan tetapi melarang berpidato dan memberitakan hal-hal yang bukan mengenai agama dan di luar gereja;
Pasal 2 :
Dilarang memaksa orang-orang memberi derma dalam gereja. Dilarang membuat kebaktian pada hari Sabtu. Semua harus indahkan kesehatan dan taklukkan diri ke bawah pemeriksaan dokter;
Pasal 3 :
Urusan-urusan tiap agama haruslah seperti urusan sebelum pecah perang. Dilarang berbantah-bantah tentang agama. Maksud, yaitulah supaya ada persaudaraan antara agama-agama.
Mengenai kebaktian di rumah duka. Di Tomohon pada satu waktu hanya diizinkan berkata-kata dalam rumah duka. Di pekarangan dan di pekuburan tidak diperkenankan. Nanti pada tanggal 24 Juli 1942 Kepala Kantor Minseibu Pengajaran dan Ibadat mengeluarkan surat pemberitahuan resmi yang berisi :
1. Upacara-upacara kebaktian pada Baptisan (Permandian), Perjamuan Asya yang kudus, Pemberkatan Nikah, Pengucapan Syukur, Kematian, kesemuanya tiada terlarang oleh pemerintah Minseibu, boleh dilakukan menurut kebiasaan tiap-tiap golongan agama Kristen;
2. Begitupun hal sembahyang dalam kebaktian-kebaktian itu jalan seperti biasa, asal tiada mengganggu keaman negeri.
3. Hanya yang dilarang dalam kebaktian-kebaktian tersebut: berpidato yakni berkata-kata tentang hal-hal yang bukan mengenai agama, umpama: tentang peperangan, politik dsb;
4. Pengajaran agama kepada anak-anak dan orang muda (katekisasi) untuk sementara waktu tidak boleh pada hari-hari biasa, melainkan diluaskan pada hari ahad.
Peneguhan Nikah oleh Pengantar Jemaat di Tomohon telah dicabut oleh pemerintah mulai bulan April1942. Tetapi Majelis gereja berusaha agar pemberkatan nikah itu berlaku seperti biasa di rumah gereja. Pada 18 Agustus 1942 dikeluarkan surat resmi dari Kepala Kantor Minseibu Bahagian Pengajaran dan Ibadat, K. Kodama, yang menyatakan bahwa pemberkatan nikah dalam rumah Kebaktian boleh dilakukan pada hari-hari biasa, sesudah nikah tersebut diteguhkan oleh pemerintah bagian catatan sipil seperti sebelum perang.
Sekolah-sekolah pada bulan-bulan pertama tahun 1942 tidak berjalan. Nati sesudah April hingga Mei 1942 baru sekolah-sekolah dibuka kembali dan semua sekolah gereja diambil alih oleh pemerintah dan disebut persekolahan rakyat. Juga gedung-gedung dan alat-alat pengajaran milik gereja terus dipakai oleh pemerintah Jepang. Di sekolah-sekolah yang diambil alih oleh pemerintah tidak diperkenankan memberikan pengajaran agama. Hal itu sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah Jepang di negerinya sendiri yang menyatakan bahwa di semua sekolah pemerintah dan swasta pengajaran agama dan pelaksanaan ibadat dilarang. Mulanya semua sekolah lanjutan dibubarkan Jepang. Tetapi kemudian dibuka kembali sesuai prinsip-prinsip dasar bagi sistem pendidikan sementara di daerah Angkatan Laut, dengan maksud :
1. Melatih agar mereka dimanfaatkan oleh Jepang
2. Mengajar mereka mengenai pentingnya pembentukan Asia Timur Raya dengan Kaisar Jepang sebagai pusat, serta menyadarkan akan tanggungjawabnya;
3. Mengajar mereka untuk tidak menghargai Eropa dan Amerika;
4. Mengakui kebudayaan dan kebiasaan setempat dan waspada terhadap kebijaksanaan yang terlalu awal ke arah kesatuan.
5. Menyatukan sedapat mungkin keanekaragaman sistem pendidikan yang ada.
6. Menekankan benar-benar penerapan pendidikan yang sama serta menyesuaikan serta mengembangkan sekolah-sekolah kejuruan.
Langkah demi langkah proses Japanisasi dilakukan. Kigenregi yakni kalender Jepang menggantikan tahun kalender Masehi. Dengan demikian tahun 1942 menjadi tahun 2606. Semua sekolah harus memberi pengajaran bahasa Jepang. Nyanyian-nyanyian dan permainan-permainan Jepang diajarkan dimana-mana. Semua buku-buku dan tulisan-tulisan bahasa Barat dilarang dipakai. Tetapi karena bahasa Jepang baru mulai dipelajari, maka bahasa Indonesia mendapat tempat yang penting dalam berkomunikasi. Dalam kurikulum sekolah-sekolah dapat ditekankan pelajaran bahasa Jepang dan semangat Jepang. Di Tomohon dibuka sekolah bahasa Jepang pertama di bekas SD Frater Kaaten. Sekolah bahasa Jepang kedua di bekas Mulo Kakaskasen. Pada tanggal 3 November 1942 pemerintah Jepang membuka kursus bagi para pegawai dan guru yang berlangsung selama enam bulan di Tomohon. Nama kursus: ‘Kita Selebes Nippon-Go Kyooin Kanri Yooseisyo” (KSNKKY). Diantara para pengajar terdapat empat orang Jepang yaitu, K. Kato, S. Nigisi, Atsuri Kanamori, dan Nobui Hoshi. Juga ada beberapa guru Indonesia antara lain: Ny. Z. Kawet-Kandouw, H.K.E. Sompi, A. Fredrik dan Dr. R.C. L. Senduk. Kursus ini berlangsung hingga Mei 1943. Diantara para peserta kursus ini terdapat J. Tulung Pengantar Jemaat Tomohon.
Untuk menjamin kesegaran dan kesehatan jasmani setiap sekolah dan kantor diwajibkan mengadakan “Taiso” setiap pagi. Taiso ini adalah semacam senam massal. Senam massal ini dipimpin oleh para pegawai dan guru lepasan KSNKKY atau disebut Kyooin Kanri. Sebelum senam dilakukan, secara khidmat diadakan pengibaran bendera Hinomaru diiringi nyanyian Kimigayo, kemudian membungkuk ‘saikere’ kearah Tokyo dan menyerukan tiga kali ‘Dai Nippon Taikoku Bansai’.
Beberapa bulan sesudah pendaratan Jepang, mereka membuka sekolah pertanian (Noogyoo Gakko) di Kakaskasen Tomohon berupa kursus selama enam bulan. Kemudian diganti dengan Sekolah Pertanian Menengah (Noomin Dooyo) empat tahun yang dipimpin Simitsu sebagai kepala sekolah. Pada tahun 1943, di Tomohon dibuka Sekolah Menengah (ChuuGakko) empat tahun dan kemudian Sekolah Guru (Sihan Gakko) empat tahun.
Di bidang kesehatan, Komisi Kesehatan gereja tidak bebas lagi untuk mengatur wilayah kerja para dokter gereja. Misalnya dokter gereja di Tondano atau di Sonder tidak diperkenankan mengunjungi poliklinik di Tomohon. Poliklinik dan Rumah Bersalin GMIM Tomohon harus ditutup dan disatukan dengan Poliklinik dan Rumah Sakit milik gereja Roma Katolik.
Penyitaan harta milik GMIM, terutama dialami di bidang pendidikan dan kesehatan. Dari data yang ada belum jelas apakah gedung-gedung sekolah milik gereja benar-benar disita secara ‘de jure’ atau ‘de facto’ begitulah situasinya. Lebih sulit lagi situasi sekolah-sekolah yang dikelolah MCSV (Minahasische Christelijke School Vereninging), yang merupakan perkumpulan semi gerejani. Anggapan pemerintah Jepang bahwa sekolah-sekolah yang dikelolah MCSV bukanlah milik gereja. Hal tersebut memudahkan penyitaan, yang menimbulkan kesulitan dalam proses pengembalian milik gereja seperti tanah dan bangunan di kemudian hari. Demikian juga yang dialami dengan poliklinik dan Rumah Sakit gereja. Semua harta milik yang disita pemerintah Jepang dari gereja langsung diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia setelah Jepang kalah. Proses pengembalian harta milik tersebut memakan waktu yang cukup lama. Dan cukup banyak harta milik gereja di Tomohon yang disita pemerintah Jepang.
Dari pokok-pokok di atas ternyata gerak dan kerja gereja sangat dibatasi, sehingga pada bagian terakhir laporan Badan Pekerja Sinode dalam pertemuan Sinode 31 Mei 1942 di Tomohon, dinyatakan :
Doa sembayang kita, kiranya pemerintah kita akan mengakui keputusan dari Tambaram yakni konferensi Zending Sedunia bahwa gereja mempunyai hak-hak yang asalnya dari Tuhan Allah, yang patut dihormati oleh pemerintah. Hak-hak tersebut ialah:
a. Kebebasan mengadakan kebaktian-kebaktian ;
b. Kebaktian mengalimatkan pengakuannya sendiri;
c. Kebebasan mempunyai pelayanan-pelayanan sendiri;
d. Kebebasan menentukan anggota-anggotanya;
e. Kebebasan memperkenalkan Tuhan kepada Pemuda;
f. Kebebasan memberitakan Injil kepada orang lain;
g. Kebebasan menerima dalam persekutuannya anggota-anggota yang meminta hal ini.
Selain menghadapi berbagai pembatasan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang, jemaat-jemaat juga diperhadapkan dengan hal yang baru. Dengan runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda maka berarti biaya gereja yang masih ditanggung pemerintah tersebut (yang masih meliputi kira-kira sebelas ribu Gulden Belanda setiap bulan) terhenti. Mau tidak mau mereka harus membelanjai dirinya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Sebagai langkah awal dalam pertemuan Sinode 31 Mei 1942 disepakati untuk memintah bantuan dan sokongan dari jemaat-jemaat. Istilah ‘sokongan bantuan jemaat’ dan bukanya ‘tanggung jawab jemaat’, menunjuk bahwa pengertian peserta Sidang Sinode mengenai “Penatalayanan” gereja masih sangat sederhana. Mungkin karena pengaruh mental pegawai negeri pemerintah masih besar. Sebelumnya para pelayan gereja merupakan pegawai-pegawai negeri yang sangat tergantung pada pemerintah. Gaji mereka dibayar dari kas negara dan bukan dari jemaat. Kemungkinan juga mereka memakai istilah bantuan/sokongan jemaat karena jumlah uang bantuan kecil bila dibanding dengan gaji yang diterima dari pemerintah.
Sebagai gambaran :
A.Z.R. Wenas Tomohon F 566.45 Kini sokongan F 25
B. Moendoeng Tomohon F 468.35 Kini sokongan F 25
A. Matindas Kakaskasen F 142.25 Kini sokongan F 10
J.R. Tirie Tanawangko F 142.25 Kini sokongan F 10
H. Sinaulan Tomohon F 142.25 Kini sokongan F 15
A.H.D. Wajong Tomohon F 134.20 Kini sokongan F 15
P.L.H. Mandagi Taratara F 93.12 Kini sokongan F 15
A. Rawis Woloan F 78.12 Kini sokongan F 10
P.W. Sambouw Tanawangko F 63.12 Kini sokongan F 15
W.B. Warouw Koha F 15 Kini sokongan F 10
H. Goni Tomohon F 142.25 Kini sokongan F 25
J.W. Korompis Tomohon F 15 Kini sokongan F 10
M.L. Matindas Tomohon F 15 Kini sokongan F 10
Bantuan/sokongan jemaat tidak cukup karena menanggung belanja para Pengantar Jemaat merupakan hal yang baru. Lagi pula keadaan ekonomi masyarakat umumnya sangat sukar yang menyebabkan sebagian besar Pengantar Jemaat minta pindah atau dipindahkan ke kampung asalnya, karena di sana mereka atau keluarganya mempunyai kebun yang dapat diolah. Kehidupan mereka sebagian besar didasarkan pada hasil kebunnya, dan sebagian besar waktu mereka dipergunakan untuk berkebun. Akibatnya kurang waktu yang diberikan bagi pelayanan jemaat dan pemberitaan Injil secara memadai. Hal ini dilihat dan disadari pimpinan Sinode dan Klasis sebagai kelemahan dari seluruh gereja, baik anggota-anggota jemaat pun para pengantarnya, sehingga mulai digumuli bersama mengenai pembiayaan gereja dalam hubungan dengan salah satu syarat gereja yang berdiri sendiri.
Dalam pertemuan para Pengantar Jemaat Klasis Tomohon, tanggal 4 April 1944, Ds. Moendoeng antara lain menyatakan : “Akan boleh berdiri sendiri selaku gereja…..ada tiga tuntutan yang menjadi cagaran yaitu :
1. Mengatur sendiri
2. Memelihara sendiri
3. Mengembangkan sendiri
Sekalipun GMIM sudah berdiri sendiri 30 September 1934, tetapi sampai pada akhir tahun 1941, belumlah ia memenuhi dengan betul ketiga tuntutan tersebut. Sebab meskipun gereja kita sudah dengan organisasinya sendiri dan sudah mengadakan pekerjaan Pengutusan Injili, tetapi barulah sebagian kecil ia membelanjai sendiri sampai akhir tahun 1941. Oleh pecahnya perang, maka sedari permulaan tahun 1942, gereja kita tak boleh lain harus mengusahakan dirinya akan memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut, dengan tak bersandar lagi pada bantuan dari luar. Hal mengatur sendiri itu berhubung dengan organisasi gereja……; hal memelihara sendiri itu berhubungan dengan peruangan, daya-daya mengumpulkan uan dan hal membelanjai sendiri; hal mengembangkan sendiri berhubungan dengan pemberitaan Injil oleh gereja kita di tanah sendiri dan di luarnya, yaitu di daerah pengutusan Injil…….dari pada ketiga tuntutan tadi, maka kita lihat sekarang bahwa hal memelihara (membelanjai) sendiri itulah yang jauh dari cukup. Ini menyatakan kelemahan peruangan gereja kita, sehingga olehnya juga pengutusan Injil tak dapat dijalankan dengan sepertinya….”
Ds. B. Moedoeng berpendapat bahwa kelemahan gereja di bidang dana bukanlah karena masyarakat di Tomohon kekurangan uang tapi karena kurangnya kesadaran warga jemaat untuk memberi. Bila diteliti lebih lanjut hal itu merupakan salah satu akibat kelemahan pemberitaan Injil dan juga kelemahan pelayanan para pengantar jemaat. Sebab itu, jalan keluar yang dapat ditempuh ialah Pemberitaan Injil harus lebih diintensifkan. Dan hal itu merupakan tanggungjawab utama para pengantar jemaat. Mereka bertanggungjawab mendorong warga jemaat agar Alkitab benar-benar menjadi buku keluarga. Sekolah minggu perlu digiatkan untuk mengisi kekosongan pendidikan agama di sekolah-sekolah.
Katekisasi hendaknya dipersiapkan dan dikerjakan dengan baik, sebab para pemuda perlu dilengkapi agar mereka menjadi warga jemaat dewasa yang sadar akan tugas tanggungjawabnya berjemaat. Dalam penggembalaan hendaknya para pengantar jemaat meningkatkan frekwensi perkunjungan rumah tangga. Juga ia menganjurkan agar para pengantar jemaat membawakan khotbah mereka dengan bahasa yang dimengerti oleh jemaat. Gereja harus pertama-tama memberikan Injil/Firman Allah. Itulah yang membedakan gereja dengan persekutuan lain. Itulah pokok-pokok penting dalam uraian Ds. B. Moendoeng yang sangat dasariah bagi gereja dan jemaat yang dewasa.
Katekisasi hendaknya dipersiapkan dan dikerjakan dengan baik, sebab para pemuda perlu dilengkapi agar mereka menjadi warga jemaat dewasa yang sadar akan tugas tanggungjawabnya berjemaat. Dalam penggembalaan hendaknya para pengantar jemaat meningkatkan frekwensi perkunjungan rumah tangga. Juga ia menganjurkan agar para pengantar jemaat membawakan khotbah mereka dengan bahasa yang dimengerti oleh jemaat. Gereja harus pertama-tama memberikan Injil/Firman Allah. Itulah yang membedakan gereja dengan persekutuan lain. Itulah pokok-pokok penting dalam uraian Ds. B. Moendoeng yang sangat dasariah bagi gereja dan jemaat yang dewasa.
Jepang memang sejak semula berusaha memanfaatkan tenaga-tenaga bumiputera untuk membantu mereka dalam mencapai ekspansinya. Bukan mustahil para pelayan gereja juga termasuk dalam kategori orang-orang yang dimanfaatkan itu. Melalui Kantor Minseibu bahagian Ibadat dan Pengajaran, J.E. Tulung mengantar Jemaat di Tomohon, setelah selesai mengikuti Kita Selebes Nippon Go Kyooin Kanri Yooseisyo ditugaskan oleh Pemerintah Jepang bekerja di kantor tersebut dan dibiayai oleh pemerintah.
Pada Tanggal 17 Januari 1944 tiba di Manado Pedeta Jiro Hamazaki, searang Pendeta Metodis Jepang yang diutus oleh Nippon Kirisuto Kyodan ke Minahasa. Ia menjadi Ketua Persatuan Agama Kristen Selebes Utara (Manado Syuu Kirisutokyoo Kyookai = MSKK), yang upacara peresmiannya (Pembukaan) diadakan pada tanggal 30 Januari 1944. Sama seperti Kyodan di Jepang melaksanakan Shukyo Kyoshi Renseikai (Konferensi Latihan Pendeta), MSKK menyelenggarakan Rensei Kosyukai (Latihan Para Pengantar Jemaat) di Minahasa. Kedua-duanya bermaksud mendidik kembali para pendeta Kristen bagi usaha perang berdasarkan Nasionalisme Shinto. Untuk Rensei Kosyukai I di Manado, dari Tomohon diutus J.A. korompis dan M.L. Matindas. Latihan tersebut diadakan sejak 20 April 1944, dan dihadiri oleh 30 orang peserta yang berasal dari utusan Roma Katholik, KGPM, Gerakan Pentakosta, Sidang Pentakosta, GMIM dan Advent. Melalui latihan-latihan ini para pengantar jemaat
Diberi indoktrinasi mengenai Nasionalisme dan Militerisme Jepang. Para pengantar mendapat pelajaran mengenai sejarah Jepang dari masa kuno hingga masa modern: juga mengenai semangat Jepang dengan maksud membangkitkan semangat Asia Timur Raya di mana ditekankan Asia untuk Asia; belajar nyanyian-nyanyian Jepang termasuk lagu kebangsaan Jepang Kimigayo; belajar mengenai kemenangan Negara Sakura atas Rusia yang merupakan kebangkitan Asia; belajar tentang pecahnya perang Asia Timur Raya dan mengenai kebudayaan Timur terutama kebudayaan Tiongkok dan Jepang; senam pagi dan hormat kepada Kaisar Jepang dan bendera Jepang ketika matahari terbit dan terbenam. Latihan ini juga dilaksanakan di Walian Tomohon dan dihadiri oleh para guru Jemaat. Kemudian di sekitar bulan Juni 1944 seorang Jepang yang masih muda tiba di Minahasa dan diangkat menjadi wakil Ketua MSKK.
Suatu hal yang menarik perhatian, bahwa di tengah segala usaha pemerintah Jepang untuk menguasai dan meperalat gereja, suara gereja masih terdengar. Hal ini nampak dari peristiwa yang menjadi ketika diadakan suatu pertemuan di gereja besar Tomohon pada tanggal 8 Maret 1943. Pada saat itu hadir K. Suzuki seorang Jepang yang beragama Kristen dan Ds. W. Rumambi. Mereka menyampaikan maksud pemerintah hendak mengumpulkan dan untuk mendirikan di Manado sebuah tugu peringatan bagi para para prajurit Jepang yang gugur.
Ds. A.Z.R. Wenas sebagai Ketua Sinode GMIM dan sebagai Ketua Klasis Tomohon dan sebagai penganjur Jemaat dipanggil untuk menutup pertemuan tersebut. Dan menurut Ds. Wenas :
“Adalah soal bagi saya, mestikah saya kuncikan perhimpunan dengan perkataan-perkataan Masehi atau tidak? Tuan-tuan, di waktu yang pendek ini saya didesak akan melahirkan perkataan-perkataan beralaskan Alkitab.
Di waktu itu telah saya katakanan :
Perhimpunan yang terhomat, telah kita berkata-kata banyak tentang Asia baru, susunan baru, kehidupan baru, yang dimaksud peperangan sekarang ini tetapi selaku orang Kristen patut kita ingat akan dunia baru dan langit baru yang dilihat oleh Yahya di Patmos, turun dari Sorga. Saya bacakan pada waktu itu Wahyu 21:1-8. Seterusnya saya katakana : kita telah berkata-kata banyak tentang candi peringatan yang mulia yang akan diperdirikan di Mando tetapi selaku orang Kristen haruslah pertama-tama kita ingat akan candi Kristus di Joljuta, yang pohon keselamatan dunia segenap. Adapun jalan yang mengantar kita dari dunia kita ke dunia baru dan langit baru yang dilihat oleh Yahya di Patmos itulah candi Kristus di Joljuta.
…….dari gereja kami ke rumah. Sedang minum, maka Tuan Suzuki berkata : terima kasih tuan berkata-kata didalam rumah gereja tentang Injil Kristus, di gereja-gereja lain ini tidak sudah berlaku……”
Pada permulaan tahun 1943 Jepang mulai mengalami kekalahan. Panglima Tertinggi Sekutu Jenderal D. Mac Arthur berhasil dengan taktik ‘lompat katak’ mengalahkan pasukan Jepang. Demikian juga Laksamana Laut C.W. Nimitz meraih kemenangan dan dapat menduduki kembali kepulauan Marshall, Tarawa, Eniwetok, dan kemudian kepulauan Carolina, Mariana, Tinian, Guam dan Saipan. Kemenangan pihak sekutu merupakan pukulan yang besar bagi Jepang, baik di daerah pendudukan maupun di negeri Jepang sendiri. Akibatnya Perdana Menteri Tojo segera diganti oleh Perdana Menteri Koiso. Di Minahasa sendiri mulai dikerahkan tenaga-tenaga sukarela untuk objek-objek vital demi pertahanan Jepang seperti lapangan terbang Mapanget, Kalawiran, Tawaang, dan Pusat Listrik di Tonsea Lama. Selain itu rakyat juga dikerahkan harus secara bergilir menggali lobang-lobang perlindungan bawah bukit Manado, Tomsea Lama, Tomohon dan Kawangkoan. Di Tomohon penggalian lobang perlindungan itu dikerahkan di Kaaten, Kakelongan, Tumaratak dan Wakan Kamasi.
Berbagai kelompok pertahanan rakyat dibentuk seperti barisan Seinendan, Keibodan, Fujinkai dan Heiho. Jepang telah memusatkan pasukannya di Minahasa, karena mereka menduga pasukan Sekutu akan menyerang dan menduduki Minahasa. Akan tetapi dari Morotai pasukan sekutu bergerak kea rah Filipina. Minahasa memang menderita serangan-serangan dan pemboman sekutu, tapi ternyata serangan-serangan tersebut adalah untuk mengamankan jalur utama pendaratan di Morotai dan bergerak pasukan Sekutu ke Filipina. Sejak bulan Agustus 1944 hinhha Februari 1945 serangan serta pemboman dilancarkan Sekutu ke Minahasa. Pada tanggal 30 Januari 1945 Kantor Sinode GMIM, Kantor Klasis Tomohon, Gereja Sion dan beberapa sekolah milik GMIM di Tomohon mengalami pemboman atau penembakan Sekutu.
Penduduk banyak yang menyingkir ke kebun-kebun. Pada permulaan Maret 1945 Kantor Sinode GMIM diungsikan ke Sarongsong Lansot kemudian dipindahkan ke sebuah pondok di Ulu in Dano sapa’, sebuah tempat pengungsian desa Walian.
Peristiwa-peristiwa setempat yang terjadi di Tomohon tentu tidak terlepas dari peristiwa-peristiwa di dunia Internasional. Pada 7 Mei 1945 peperangan di Eropa berakhir dan perhatian serta kekuatan Sekutu ini diarahkan ke Asia. Pada tanggal 26 Juli 1945 kepada Jepang disampaikan “Deklarasi Postdam” yang ditandatangani Presiden Amerika Serikat, Perdana Menteri Inggris dan Pemerintah Nasional Tiongkok. Deklarasi tersebut memberi kesempatan kepada Jepang untuk menyerah. Tetapi Jepang tidak menghiraukan Deklarasi tersebut.
Pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945 berturut-turut Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hirosima dan Nagasaki. Akibatnya Jepang menyerah kalah dan menerima Deklarasi Postdam pada tanggal 15 Agustus 1945. Di Minahasa pada tanggal 15 Agustus 1945 keadaan semakin gawat. Pengawasan tentara Jepang terhadap penduduk setempat makin diperketat. Dan keesokan harinya sebuah pesawat terbang sekutu menjatuhkan selebaran-selebaran di Minahasa yang isinya menyatakan bahwa perang telah berakhir dengan kemenangan di pihak Sekutu dan Jepang telah menyerah tanpa syarat. Seluruh penduduk negeri Tomohon dan sekitarnya dikerahkan pada tanggal 28 Agustus 1945 untuk berkumpul di halaman gereja Sion dan Pemerintah menyampaikan pengumuman reski bahwa perang telah berakhir dan situasi telah aman kembali. Pada hari yang sama semua tawanan yang berada di kamp-kamp tawanan dibebaskan. Kedua pendeta Jepang, Pendeta J. Mamazaki dan Pendeta Takagi bersama A.Z.R. Wenas pergi menjemput para pendeta Belanda di kamp tahanan Teling Manado dan diantar ke Tomohon.
Atas anjuran Badan Pekerja Sinode GMIM, dimana-mana diadakan kebaktian syukur karena berhentinya peperangan. Sebuah liturgi khusus telah disusun dan dibagi-bagi ke jemaat-jemaat.
Pada hari ulang tahun GMIM berdiri sendiri 11 tahun tanggal 30 September 1945, Jemaat Tomohon mengadakan kebaktian pertemuan dan Perjamuan di kompleks gereja Sion Tomohon. Dalam kebaktian tersebut hadir para pendeta Belanda bekas tawanan dan kedua pendeta Jepang, para ketua Klasis, para undangan dari golongan agama yang lain serta Majelis Gereja Tomohon. Setelah kebaktian dilanjutkan dengan pertemuan perjamuan. Hidangan perjamuan itu telah disumbangkan oleh anggota-anggota jemaat Tomohon disekitarnya.
Pada gilirannya kemudian pendeta-pendeta Jepang dikenakan tahanan rumah dan berdiam bersama keluarga Pendeta Moendoeng, sambil menunggu saat pemulangan ke Jepang.
Pasukan sekutu yang terdiri dari tentara Australia, mendarat di Manado pada tanggal 8 Oktober 1945 dibawah pimpinan Letkol Nuir. Ia menerima pasukan Jepang yang menyerah dipimpin Laksamana Muda K. Hamanaka. Pemerintah Sipil kemudian ditangani orang-orang Belanda pegawai NICA (Netherlands Indies Civil Affairs) yang datang bersama-sama pasukan Australian dan membuka kantornya di Tomohon.
Beberapa catatan 1942-1945.
1. Selama pendudukan Jepang, banyak milik gereja disita : ump. Sekolah-sekolah dan ada gedung gereja yang dipakai oleh tentara Jepang, seperti halnya gereja Kakaskasen dipermulaan tahun 1942 digunakan sebagai bengkel mobil. Kompleks Stovil dijadikan Markas Tentara Jepang selama pendudukan Jepang;
2. Oleh karena pemboman tentara Sekutu akhir 1944 dan permulaan 1945, maka rakyat mengungsi ke perkebunan. Pada waktu itu semua urusan gereja (sinode), klasis dan jemaat Tomohon dikerjakan di tempat pengungsian berlokasi di sebelah timur desa Sarongsong. Kantor klasis Tomohon tepat kena bom dan hancur. Anehnya Rumah Ketua Sinode (keluarga Wenas) yang berdekatan dengan Kantor sedikitpun tak mengalami kerusakan. Rumah Gereja Matani rusak berat kena pecahan bom yang jatuh tak jauh dari SD Negeri II. Rumah gereja besar rusak karena tembakan-tembakan dari udara.
3. Di tempat-tempat pengungsian pelayan ibadah minggu dilakukan berkelompok menuruti daerah pengungsian, tanpa membedakan asal-usul desa. Di tempat pengungsian peranan Penatua/Syamas, Guru-guru dan kaum awam dalam bidang pelayanan rohani sangat menonjol. Ini disebabkan karena tempat pengungsian pendeta terpisah jauh dari kelompok-kelompok ini.
4. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu :
- Pemerintah sipil Hindia-Belanda (NICA) menjadikan Tomohon ibu kota ex Keresiden Manado usw, karena kota Manado telah hancur oleh pemboman Kantor Kepala Pemerintahan (CONICA) berlokasi di kompleks Chr. MULO di Kakaskasen.
- Demikian pula dengan Kantor Pemerintah Daerah Minahasa, yang sebelum perang berada di Manado usw mempergunakan Poliklinik GMIM Tomohon.
- Bangunan lain yang dipergunakan oleh pemerintah yaitu : Normaanlschool Kuranga, ; “Percetakan Negara”. Stovil dipakai oleh Polisi Negara
- Dampak dari keadaan baru yaitu :
Tomohon kebanjiran pegawai; kepadatan penduduk meningkat. Jemaat Tomohon, Kakaskasen, Sarongsong ketambahan anggota Jemaat pendatang. Pada gilirannya maka pelayanan gerejawi selain dari ibadat minggu, evangelisasi, pengembalaan memerlukan perhatian dari para petugas gereja.
5. Tak lupa juga dicatatkan disini hal-hal yang berikut :
- Setelah para tahanan perang bangsa Belanda dibebaskan maka Badan Pekerja Sinode dalam hal ini ketuanya Ds. A.Z.R. Wenas segera mengatur penampungan sementara sambil menunggu tidak lanjut dari pemerintah. Keluarga keluarga bekas petugas gereja (Pendeta, Guru) ditampung di kompleks kantor Sinode dan Kopschool (SKP) yang berdasarkan ;
- Para Pendeta (Inlander Leeraar dan Indische Predikant) menerima kembali jaminan hidup (gaji) dari pemerintah;
- Sekolah-sekolah GMIM (SD) dikelola dalam ikatan pool dengan sekolah-sekolah negeri dan swasta lainnya oleh Pemerintah;
- Usaha sosial khususnya penampungan anak-anak yatim-piatu dan wanita tersesat (bekas penghuni bordil tentara Jepang) mendapat perhatian dari gereja.
6. Ada lagi yang perlu ditambahkan semasa pendudukan Jepang yaitu :Kerja Paksa secara giliran untuk menyiapkan lapangan udara Mapanget dan menggali lobang-lobang penyimpanan perbekalan serta pengangkutan dengan roda-roda yang berlaku juga pada hari minggu ketiga mulai pemboman oleh sekutu 1944 hingga permulaan tahun 1945. (bersambung)






Tidak ada komentar:
Posting Komentar